About Me

My Blog List

Followers

RSS

Minggu, 13 November 2011

perkembangan status dan peranan wanita indonesia

PERKEMBANGAN STATUS DAN PERANAN WANITA INDONESIA
Dra. HADRIANA MARHAENI MUNTHE
Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
I.  Secara biologis wanita dan pria memang tidak sama, akan tetapi sebagai
makhluk jasmani dan rohani yang diperlengkapi dengan akan budi dan kehendak
merdeka, kedua macam insan itu mempunyai persamaan yang hakiki. Keduanya
adalah pribadi yang mempunyai hak sama untuk berkembang. Namun dalam
kenyataannya, baik di negara maju maupun di negara berkembang, wanita dianggap
sebagai warga negara kelas dua II, yang selalu mengalami kesulitan untuk dapat
menikmati hak yang dimilikinya.
Jawaban untuk pertanyaan sejak kapan wanita dikategorikan sebagai
“kelamin kedua II” yang berada di bawah subordinasi pria, antara lain dapat dicari
pada pelacakan kaum arkeolog yang meneliti kehidupan dan kebudayaan penduduk
pada zaman pra-sejarah. Di antara hasil penelitian zaman paleolitikum, sebuah
periode yang sangat panjang dan berakhir pada sekitar tahun 12.000 S.M.,
penduduknya adalah pengumpul pangan dan pemburu hewan serta ikan (Lucas,
1953). Mengingat mata pencaharian utamanya sebagai pemburu (hunter), maka
Washburn dan Lancaster (1968) memunculkan konsep Man the Hunter yang
menunjukkan bahwa hanya pria saja yang melakukan pekerjaan berburu. Akibatnya
banyak antropolog mengartikan istilah man (= manusia) sinonim dengan male (=
laki-laki). Dalam hal ini berburu tidak hanya merupakan aktivitas ekonomi,
melainkan sebagai keseluruhan pola aktivitas kehidupan kaum pria (Reiter, 1975).
Selanjutnya untuk mendukung argumen bahwa berburu itu penting bagi
kaum pria, Washburn dan Lancaster (1968) mengingatkan bahwa kaum laki-laki
pada zaman modern pun mempunyai arti ekonomis. Berburu digambarkan sebagai
kegiatan laki-laki untuk dibedakan dari wanita. Konsep Man the Hunter itu akhirnya
menggiring kita pada kesimpulan bahwa kaum laki-laki memiliki postur tubuh yang
kekar dan kuat, rasional, dan bersifat agresif, sehingga mampu berburu hewan liar
secara kasar dan membunuhnya. Kiranya dapat disebutkan bahwa domination rape
merupakan kejahatan perkosaan oleh kaum pria dikarenakan ingin menunjukkan
kekuasaan atau superioritasnya sebagai laki-laki terhadap wanita dengan tujuan
akhir penaklukan sebagai seksual. Sebaliknya wanita dianggap sebagai kaum yang
lemah, emosional, memerlukan perlindungan, kurang inisiatif, kurang dinamis, lebih
pasif dan lebih submitif daripada pria.
Sebagai pemburu, kaum laki-laki mendapatkan kemajuan kultural yang jauh
lebih banyak daripada yang diperoleh kaum wanita. Hal ini dikaitkan dengan cara
mereka berburu secara kelompok ke tempat-tempat yang cukup jauh. Agar supaya
usaha mereka itu berhasil baik, maka mereka belajar bekerjasama, mengembangkan
teknik berburu dengan menciptakan alat-alat baru dan senjata, meningkatkan
keterampilan berkomunikasi dan berorganisasi. Mereka juga mulai menggunakan
bahasa dan menghasilkan benda-benda kesenian, walaupun dalam bentuk yang
sangat sederhana. Menurut Gough, seorang antropolog, pada waktu itu telah ©2003 Digitized by USU digital library  2
berbentuk keluarga. Wanita dan anak-anak tidak ikut berburu dan mereka tinggal di
tempat kediamannya, mencari dan mengumpulkan makanan dari tempat yang tidak
berjauhan. Hidup mereka sedikit banyak tergantung pada laki-laki pemburu yang
datang dengan membawa basil buruannya yang kaya protein (Reiter, 1975).
Sebuah revolusi terjadi pada sekitar tahun 6.000 S.M. dan mulailah zaman
neolitikum, atau zaman baru. Mata pencaharian sebagai pengumpul pangan dan
berburu hewan serta ikan mulai ditinggalkan, diganti dengan cara bertanam bahan
makanan dan buah-buahan serta beternak. Perubahan besar dalam kebudayaan ini
tidak hanya terbatas pada bidang agraris dan peternakan saja, melainkan juga
dalam kegiatan lain. Di antaranya timbulnya perdagangan, adanya penemuanpenemuan baru yang memungkinkan perluasan kehidupan ekonomi dengan
membuat perahu-perahu, penemuan-penemuan roda, sehingga orang mampu
membawa barang-barang berat dari jarak jauh, selanjutnya penemuan bajak yang
membawa kemajuan besar dalam bidang pertanian (Lucas, 1953).
Kemajuan dalam berbagai bidang itu memantapkan pembagian kerja
berdasarkan seksual, yang akarnya telah tumbuh pada zaman paleolitikum. Kaum
laki-laki secara leluasa melakukan aktitivas dalam kehidupan publik, berarti peran
yang dilakukan memungkinkan dirinya untuk berkembang. Sebaliknya kaum wanita
semakin disibukkan oleh pekerjaan rumah tangga, menjaga dan membesarkan anakanak, mengurus ternak, membakar roti, membuat dadih susu, keju dan mentega
dari susu sapi atau kambing (Reiter, 1975). Melihat keunggulan kaum laki-laki itu,
kaum wanita mulai dihinggapi perasaan inferior.
Pembagian kerja berdasarkan seksual itu berlaku secara universal dan
berlangsung sejak zaman pra-sejara, melewati zaman kuna, zaman abad-abad
pertengahan, zaman kapitalis-merkantilisme sampai pada zaman masyarakat
industrial. Walaupun sudah hidup pada zaman maju, namun kehidupan wanita masih
banyak yang berputar sekitar kehidupan rumah tangga. Pada zaman maju itu makin
besar ketergantungan ekonomis kaum wanita pada pria, karena suami bekerja
mendapatkan gaji yang dipakai untuk biaya seluruh kebutuhan keluarga. Sebaliknya
wanita yang bekerja dalam rumah tangga tidak menghasilkan uang. Perasaan
inferior pada wanita semakin bertambah dan sebab utamanya adalah faktor
keterasingan yang membuat perkembangan kepribadiannya tidak terangsang.
Di kalangan para ahli filsafat pembagian kerja secara seksual itu menarik
perhatiannya. Menurut Aristoteles (384-422 S.M.), seorang intelek terbesar zaman
Yunani kuna yang dikenal sebagai ahli filsafat dan ilmuwan, berpendapat bahwa
wanita adalah "Laki-laki yang tidak lengkap". Pendapat ini dapat dihubungkan
dengan istilah famulus (Latin) atau family (Inggris), yang mula-mula berarti budak
domestik. Familia berarti sejumlah budak yang dimiliki seorang laki-laki dewasa,
termasuk di dalamnya anak-anak dan istri. Wanita digolongkan dalam kelompok
yang dikuasai oleh laki-laki, karena jiwanya dianggap tidak sempurna. Oleh sebab itu
dapatlah dimengerti bahwa dalam pelaksanaan demokrasi di Yunani kuno pada
sekitar tahun 5000 S.M., kaum wanita, sama seperti yang berlaku pada anak-anak
dan budak, tidak mempunyai hak memilih.
Para ahli filsafat abad XVIII dan XIX antara lain Kant (1724-1804) dan
muridnya, Fichte (1762-1814), juga Schopenhauer (1788-1860) dan menganggap
bahwa kaum wanita lebih lemah daripada pria, sebab itu wajar kalau tempat mereka
di rumah. Mill (1806-1873), tokoh pemikir Inggris yang berhaluan liberal,
mendasarkan pendapatnya pada falsafah liberal, yaitu bahwa semua orang ©2003 Digitized by USU digital library  3
diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang harus mempunyai
kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Dalam melaksanakan kebebasan
mengembangkan bakat, wanita memilih rumah tangga, sedang kaum laki-laki
memilih kehidupan publik atau profesi.
Montagu (1971) mengemukakan bahwa sifat-sifat psikologis dan sosial wanita
membuktikan wanita lebih unggul daripada laki-laki. Selain itu terdapat fakta-fakta
yang membuktikan bahwa wanita adalah organisme yang secara biologis lebih
unggul, unggul dalam arti menikmati nilai kelangsungan hidup (survival) yang lebih
tinggi daripada pria berkat sifat-sifat biologisnya. Fakta-fakta itu seharusnya dapat
melenyapkan mitos inferioritas fisik wanita terhadap pria. Kekuatan otot tidak boleh
dikacaukan dengan kekuatan komposisi dan menurut komposisinya wanita adalah
kelamin yang lebih kuat (Montagu, 1971).
Tokoh lain, Freud (1856-1939), pendasar ajaran psycho-analisis,
mengemukakan bahwa dunia  adalah dunianya pria. Wanita diukur dengan
kacamata: apa yang berlaku bagi pria dan apa yang ditentukan oleh pria. Pandangan
Freud ini dikenal sebagai phallocentric, karena penekanannya pacta organ kelamin
pria sebagai sumber kekuasaan (Sadli, 1988).
Pemikiran teoritis di atas menunjukkan bahwa masalah wanita dalam
hubungannya dengan pria mencakup dua bagian. Pertama, pemikiran yang
dipengaruhi oleh pendekatan biologis (nature) yang tidak memberi pertimbangan
pacta unsur sosial-budaya. Ini berarti bahwa faktor-faktor luar hampir tidak
berpengaruh sarna sekali. Kedua, pemikiran yang dipengaruhi oleh pendekatan
sosial-budaya yang mempertimbangkan peranan yang besar dari kekuatan-kekuatan
luar. Kedua bagian itu merupakan kutub-kutub yang sulit dipertemukan dan
merupakan sumber diskusi atau perdebatan.
Sesudah secara sepintas dikemukakan mengenai akan adanya pembagian
kerja secara seksual dan beberapa pendapat para ahli pikir, maka uraian berikut ini
dibatasi pada perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya dalam rumah tangga.
Pembahasan mengenai hal ini tidak dapat lepas dari struktur masyarakat tempat
keluarga-keluarga itu berada.
Marshall, peneliti status dan peranan wanita Skotlandia sejak abad XI sampai
abad XX, membagi wanita di negeri itu menjadi dua kategori. Pertama, the passive
Women yang berlangsung cukup lama dan berakhir pada tahun 1830. Kedua, the
active Woman yang dimulai sejak tahun 1830 (Marshall, 1983). Pembagian Marshall
ini kiranya dapat diterapkan di negara-negara lain, baik negara maju maupun negara
berkembang, dengan catatan bahwa awal periode the active Women itu tidak sama.
Di Amerika Serikat, bangkitnya wanita untuk membela kaumnya lebih dulu dari
sahabat-sahabatnya di Eropa. Gerakan Feminisme di negeri itu dengan tujuan
memperjuangkan hak-hak bagi kaumnya seperti yang dinikmati oleh kaum pria,
diawali dengan pekerjaan mendirikan College di New York didirikan pada tahun 1823,
di Massachusset pada tahun 1837, kemudian diikuti dengan yang lain. Mula-mula
College untuk anak-anak perempuan itu dicemooh oleh kaum pria yang disebutnya
sebagai She College (Lucas, 1953). Di Skotlandia gerakan semacam itu dimulai pada
tahun 1830, sedang di Inggris berlangsung lebih kemudian.
Inggris pada waktu pemerintahan Ratu victoria (1837-1901) merupakan
periode yang menyenangkan bagi kaum pria, karena mereka aman dalam kubu
infallibilitas-nya (= sifat tidak dapat salah). Mereka sangat pasti terhadap ©2003 Digitized by USU digital library  4
superioritas jenis kelaminnya dan inferioritas kaum wanita. Sebagai ilustrasi dapat
disertakan disini bahwa Ratu Victoria pernah marah sekali terhadap siapa pun yang
membaca, menulis dan menggabung pada gerakan yang memperjuangkan "Hak-hak
Wanita". Ratu berpendapat bahwa Tuhan menciptakan laki-laki berbeda daripada
wanita, sebab itu dibiarkan mereka tetap pada kedudukannya masing-masing
(Bowman, 1954). Di negara berkembang pada umumnya, termasuk Indonesia,
peranan wanita baru dimulai sejak abad XX.
 Pada periode Wanita Pasif, kehidupan wanita berputar disekitar kehidupan
rumah tangga. Tujuan wanita seakan-akan hanyalah untuk menikah dan
membangun rumah tangga, oleh karena itu anak gadis tidak sempat memiliki citacita. Mereka tidak mengenal masa remaja, karena sesudah berusia sekitar dua belas
tahun mereka telah berumah tangga. Calon suami ditentukan oleh orang tuanya,
terutama oleh ayahnya (Marshall, 1983; Kartini, 1979). Sesudah menikah hampir
seluruh kehidupannya disibukkan oleh pekerjaan rumah tangga.
 Di kalangan tingkat tinggi pola kawin muda untuk anak-anak perempuan
juga sering dilakukan. Banyak diantara perkawinan itu, terutama yang berlaku pada
putri-putri raja, menggunakan dasar kepentingan diplomatik yang menguntungkan
bagi negerinya. Pada umumnya pria yang dimulai mencari jodohnya sangat
memperhatikan faktor kekayaan, status, reputasi keluarga gadis yang akan dilamar
dan juga faktor penampilan yang menarik dari gadis itu. Maksudnya agar dengan
perkawinan itu kekayaan, kedudukan dan kehormatannya menjadi tambah. Akan
tetapi gadis bangsawan pada umumnya juga mengajukan persyaratan bagi calon
suaminya, diantaranya yang paling penting adalah kekayaan dan kedudukan.
Dengan demikian perkawinan di kalangan atas dan menengah dikaitkan dengan
macam-macam tujuan. perkawinan itu dimanfaatkan untuk meningkatkan
kedudukan sosialnya atau memindahkan kekayaan. Namun baiknya perkawinan di
kalangan rakyat pada umumnya maupun golongan atas seperti tersebut di atas
menunjukkan bahwa perhatian ditujukan pada segi biologis wanita. Sejak kecil anakanak perempuan telah didasarkan akan kewajibannya apabila mereka kawin dan
sebagai persiapannya mereka memperoleh pendidikan yang sesuai dengan
kedudukannya sebagai ibu rumah tangga.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya perempuan dan laki-laki tidaklah
sarna. Anak gadis dididik sebagai persiapan berumah tangga, sedang anak laki-laki
dikirim ke sekolah sebagai persiapan memperoleh suatu profesi. Sesudah gadis-gadis
diizinkan masuk sekolah, mereka diarahkan untuk mengambil jurusan kerumah
tanggaan atau mengurus anak-anak. Ternyata pemilihan jurusan atau mata
pelajaran yang dianut merupakan cermin pandangan tradisional mengenai peranan
wanita dan kaum laik-laki. Dengan demikian bidang-bidang pelajaran itu terbagi,
sebagian khusus untuk pria dan sebagian lainnya untuk wanita. Pada zaman
Renaissance (abad XVI) Erasmus mengarang buku pegangan mengenai sopansantun untuk sekolah-sekolah anak laki-laki. Ini berarti bahwa yang perlu
mengetahui sopan-santun, baik mengenai sikap, tingkah laku, tata cara di meja
makan, maupun berbicara, hanyalah anak laki-laki (Elias, 1982). Sopan-santun
dipakai sebagai bekal bergaul atau berkomunikasi, apabila mereka di kemudian hari
terjun dalam masyarakat memegang suatu profesi.
Orang tua, termasuk kaum ibu yang pada umumnya menerima keunggulan
pria sebagai sesuatu yang wajar, secara tidak terasa telah menanamkan sifat
superioritas pria kepada anak-anaknya sejak usia dini. Hal ini tercermin pada
ungkapan atau pepatah, antara lain sebagai berikut: "Anak laki-laki tidak boleh ©2003 Digitized by USU digital library  5
mengangis". Berbuatlah seperti anak laki-laki". "Ia anak laki-laki yang
sesungguhnya." Ungkapan terakhir itu biasanya disampaikan oleh seorang ayah
yang menilai bahwa anaknya memenuhi standar sifat anak laki-laki (Bowman, 1954).
Dalam bahasa Jawa terdapat ungkapan: mikul dhuwur, mendhem jero (= memikul
tinggi, menanam dalam), diperuntukkan bagi anak laki-laki yang maksudnya anak
laki-laki dapat mengangkat derajat orang tuanya. Sebaliknya anak perempuan
disebutnya "satru mungging cangklakan (= seteru pacta ketiak), artinya anak
perempuan merupakan beban berat bagi orang tuanya. Contoh lain, anak
perempuan boleh bermain seperti anak laki-laki, misalnya memanjat pabon, tetapi
hanya sampai waktu yang terbatas, selanjutnya ia tidak diizinkan lagi. Anak
perempuan diizinkan berpakaian seperti anak laik-laki, sehingga seakan-akan
tercipta mode uniseks, sedangkan laki-laki yang tidak diperkenankan memakai
pakaian perempuan. Seandainya ada yang melakukan, maka hal itu dinilai tidak
normal. Perikuti yang superior, sebaiknya yang kedudukannya superior dilarang
mengikuti yang inferior.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa secara tidak disadari pusast
pendidikan keluarga, dalam melakukan enkulturasi, ikut memperkuat kultur
maskulin. Dikotomi pria-wanita tetap berlangsung, sehingga wanita selalu dibayangi
oleh superioritas pria dan menyadari bahwa statusnya adalah sebagai kanca
wingking (=teman di garis belakang), dan sebagai sosok yang swarga nunut, neraka
katut (=kalau suami masuk sorga, istri ikut dan suami masuk neraka, istri terseret).
II. Uraian yang telah disampaikan itu menggambarkan keadaan wanita pada
umumnya pada masa lampau. Wanita Indonesia dewasa ini keadaannya sudah jauh
berbeda: mereka juga dituntut untuk berpartisipasi secara aktif dalam Pembangunan
Nasional. Wanita Indonesia, termasuk yang sudah berkeluarga, dalam kedudukannya
sebagai sumberdaya manusia, diusahakan agar mendapat kesempatan untuk
mewujudkan potensi-potensinya secara optimal.
Jika pada awal abab ini, mengirim anak gadisnya kesekolah dianggap
menyuruh anaknya yang menempuh jalan menuju kebinasaan, seperti yang berlaku
di daerah Minangkabau (Subadio, 1983), maka anak-anak perempuan dewasa ini
bebas memasuki sekolah yang diinginkan. Setelah berhasil menyelesaikan studinya,
di SLTA atau di perguruan Tinggi, sebagian besar dari mereka masuk angkatan
kerja, memegang suatu profesi tertentu. Pemilihan profesi tidak terbatas pada
profesi guru, dosen, bidan, perawat, dokter, memimpin berbagai panti asuhan, dan
lainnya yang tidak jauh dari tugas ibu didalam rumah, melainkan juga telah
menerobos bidang-bidang lain yang semula dimonopoli oleh kaum laki-laki.
Diantaranya angkatan bersenjata, dunia bisnis modern dan jasa computer, jasa
notaris, binis media, catering, bisnis public relations, marketing research, serta bisnis
kesenian dan teater. Menduduki pimpinan tertinggi dalam universitas atau dekan
fakultas dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Selanjutnya perlu dicatat partisipasi
wanita dalam kegiatan politik, baik dalam badan legislatif maupun eksekutif.
Diangkatnya wanita sebagai Manteri Sosial untuk beberapa kali menunjukkan bahwa
untuk kedudukan tradisional wanita dianggap cocok memangku jabatan itu (Tahun,
1991).
Seperti yang dikemukakan oleh Marshall (1983), peneliti dari Skotlandia,
pergantian dari periode the passive Women ke periode the active Women tidak
berlangsung secara tiba-tiba, maka demikian pula dengan keadaan di Indonesia.
Untuk sampai pada kemajuan wanita Indonesia abad XX sekarang ini diperlukan
suatu masa transisi. Pada masa transisi itu, berarti sejak zaman penjajahan Belanda, ©2003 Digitized by USU digital library  6
banyak wanita yang mendarmabaktikan dirinya dengan melakukan  kegiatan sosial
lewat jalur organisasi, baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah, Adanya
keragaman daerah, antara lain mengenai agama, adat, tingkat pendidikan, dan
tingkat kehidupannya, maka usaha untuk memajukan kaum wanita disesuaikan
dengan keadaan setempat. Para ibu pejuang itu menyadari perlunya memperhatikan
sifat kontinuitas dalam kehidupan dan budaya penduduk dan diperjuangkannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pergerakan wanita, merupakan
pendorong paling kuat bagi terjadinya perubahan mengenai kehidupan wanita yang
mencakup banyak bidang.
 Di dunia Barat terdapat gerakan Feminisme, yang dapat di golongkan
menjadi tiga, yakni kaum Feminis Liberal, kaum Fiminis Radikal, dan kaum Feminis
Sosialis. Tujuannya menyadarkan kaum wanita akan hak-haknya dan mereka harus
menuntut emansipasi, dilakukan dengan cara menghadapi kaum laki-laki. Di
Indonesia gerakan emansipasi dilakukan oleh organisasi-organisasi wanita
berlandaskan pada gagasan Kartini.
Kartini menuntut pendidikan bagi kaum wanita, berarti orientasinya lebih
ditekankan pada tingkatan kecerdasan secara individual. Sasaran yang lebih jauh
ingin dicapai adalah mengangkat martabat kaumnya, sehingga sejajar dengan
martabat kaum pria. Dengan demikian maka gerakan emansipasi yang dilakukan
oleh kaum wanita Indonesia yang diartikan sebagai gerakan pembebasan kaum
wanita dari ketergantungan pada orang lain, terutama pada kaum laki-laki. Tujuan
gerakan itu agar wanita dapat hidup mandiri, menggunakan hak-haknya seperti
halnya yang berlaku pada kaum laki-laki, sehingga mereka tidak lagi menyandang
sebutan "warga negara kelas dua".
Dalam perjuangan menuntut persamaan hak antara pria dan wanita, Kartini
tidak pernah mempertentangkan wanita dan kaum laki-laki. Dalam salah satu
suratnya, ia mengatakan bahwa bagi kaum wanita yang menyukai kemajuan, bukan
orang laki-laki yang dilawannya, melainkan pendapat kolot yang turun temurun.
Bertolak dari gagasan Kartini yang menuntut pendidikan bagi kaumnya dan
menyadari adanya ketidakadilan dalam perkawinan, maka Kongres Perempuan I
(1928) memasukkan pendidikan untuk anak-anak perempuan dan usaha
perlindungan wanita dalam perkawinan sebagai program perjuangannya. Yang
disebut terakhir itu membutuhkan perjuangan yang ulet dan hasilnya baru dapat
tercapai setengah abad kemudian dengan diterimanya Undang-undang RI No.1
Tahun 1974 tentang perkawinan.
 Dalam Sejarah Pergerakan Nasional disebutkan bahwa dalam usaha
mencapai kemerdekaan negara dan bangsanya kaum wanita melakukan kerja sarna
dengan kaum pria. prinsip kerja sama itu tetap dipegang dan dapat dibuktikan pada
waktu perang Kemerdekaan dan pada masa Pembangunan Nasional. Tahun 1978
merupakan tonggak sejarah yang penting bagi peningkatan peranan wanita.
pertama, karena pada tahun itu peranan dan status sosial wanita secara eskplisit
mendapatkan pengakuan konstitusional dalam GBHN. Kedua, pada tahun itu
pertama kalinya pemerintah meletakkan suatu perlengkapan nasional yang
bertanggung jawab meningkatkan peranan wanita dalam Pembangunan dengan titik
pusat Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Pada tahun 1983 status Menteri Muda
itu ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW). Tugas
pokok MENUPW adalah menangani peningkatan peranan wanita dalam bidang
(Tjokrowinoto, 1988). ©2003 Digitized by USU digital library  7
Kegiatan wanita di dunia internasional dapat disimak pada partisipasinya
dalam berbagai macam konferensi atau seminar di negara-negara Asia dan
konferensi Wanita Sedunia, sebagai puncak dari Tahun Wanita internasional.
konferensi ini dilangsungkan di Mexico City pada tahun 1975, berikutnya di
Kopenhagen, Denmark (1980), dan ai Nairobi, Kenya (1985). Pemerintah Indonesia,
sebagai anggota PBB, mengirim utusan konferensi-konferensi tersebut, akan tetapi
disampingnya juga datang utusan-utusan wanita, terutama dari kongres Wanita
Indonesia (Kowani) yang menghadiri pertemuan Non Govermental Organization
(NGO). Ternyata utusan wanita yang menghadiri pertemuan NGO banyak membantu
utusan-utusan resmi yang dikirim oleh pemerintah.
Bagi lapisan tipis bagi masyarakat, yang umumnya terjadi atas golongan
menengah, emansipasi dinilai sudah mendekati kenyataan, tetapi bagi sejumlah
besar wanita di luar golongan tersebut, emansipasi masih merupakan suatu harapan.
Dalam hal meningkatkan pendidikan bagi wanita-wanita yang memerlukan uluran
tangan itu, MENUPW telah banyak berbuat. Disamping itu bantuan para wanita yang
melakukan kerja sosial tidak dapat diabaikan. Lahirnya Lembaga Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang cepat merata tumbuh dan berkembang di desadesa di seluruh tanah air berarti bahwa wanita-wanita desa sudah dilibatkan secara
fisik dalam proses pembangunan bangsa. Suatu kenyataan yang sulit disangkal
bahwa wanita adalah pendukung berhasilnya program pemerintah keluarga
Berencana (KB). Namun PKK masih perlu ditingkatkan kualitasnya, sehingga
pendidikan yang diberikan kepada wanita-wanita itu tidak hanya meliputi bidang fisik
saja, tetapi juga mencakup bidang mental.
Dalam masa transisi menuju ke masyarakat industrial terdapat perubahan
sistem nilai. Hal ini erat hubungannya dengan pembangunan yang mendatangkan
teknologl Barat bersama dengan penasihat-nasihatnya. Dari teknologi Barat ini
manfaat yang diambil cukup besar, tetapi disamping itu terdapat pula dampaknya,
berupa benturan-benturan antara kebudayaan tradisional dan Barat. Pertemuan
antar kebudayaan secara mendadak itu menimbulkan permasalahan sosial yang erat
hubungannya dengan moralitas. Partisipasi wanita dalam menangani masalah ini
sangat diharapkan karena hal ini sesuai dengan ketentuan tentang peranan wanita
dalam GBHN 1988. Ketentuan itu menerangkan bahwa peranan wanita adalah
mewujudkan dan mengembangkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia, termasuk
pengembangan generasi muda, terutama anak dan remaja dalam rangka
pembangunan manusia seutuhnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Blog List

About

Recent Post

Recent Post

Link Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Gabung Nyuk...!

5 ARTIKEL POPULER

Reader Community

Simple Me..

Foto Saya
wanita indonesia
sejak kecil aku pengen jadi dokter, tetapi setelah aku memiliki penyakit phobia sama darah jadi gagal seleksi deh, kasian deh bunda yaaa. kalau darah itu bisa diajak berantem udah bunda ajak duel di range tinju dehhhh :+/
Lihat profil lengkapku

About Administrator

Foto Saya
wanita indonesia
sejak kecil aku pengen jadi dokter, tetapi setelah aku memiliki penyakit phobia sama darah jadi gagal seleksi deh, kasian deh bunda yaaa. kalau darah itu bisa diajak berantem udah bunda ajak duel di range tinju dehhhh :+/
Lihat profil lengkapku

Search